Detail Rencana Trump untuk Ukraina: Batal Masuk NATO hingga Serahkan Donbas
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, menyatakan bahwa Kyiv siap untuk bekerja secara "jelas dan jujur" dalam merespons draf proposal perdamaian yang diajukan oleh delegasi Amerika Serikat. Pernyataan ini muncul di tengah laporan media bahwa kesepakatan damai rahasia sedang disusun oleh Washington dan Moskow, dengan beberapa sumber menyebutkan adanya potensi terobosan dalam waktu dekat. Zelenskyy, melalui post di Telegram, mengonfirmasi pertemuannya dengan delegasi tingkat tinggi AS yang menghasilkan "percakapan yang sangat serius," di mana pihak Amerika mempresentasikan visi mereka untuk mengakhiri perang.
Rencana perdamaian setebal 28 poin tersebut dilaporkan mencakup proposal kontroversial, seperti Ukraina yang harus menyerahkan sebagian wilayah di Donbas region bagian timur dan mengurangi jumlah angkatan bersenjatanya hingga setengahnya, dari 900.000 menjadi 600.000 personel. Selain itu, draf tersebut juga menyarankan agar Ukraina tidak bergabung dengan NATO, sementara pesawat tempur Eropa akan ditempatkan di negara tetangga, Polandia. Sebagai imbalannya, Ukraina akan menerima "reliable security guarantees" yang detailnya belum diungkap, dan Rusia akan "diintegrasikan kembali ke ekonomi global" melalui pencabutan sanksi serta undangan untuk bergabung kembali ke grup G7 (menjadi G8).
Reaksi terhadap proposal ini sangat beragam. Guntram Wolff dari Bruegel menilai rencana tersebut berbahaya karena akan membuat Ukraina sangat rentan (vulnerable) terhadap serangan Rusia di masa depan tanpa kehadiran pasukan NATO. Senada dengan itu, Michael O’Hanlon dari Brookings Institute menganggap penyerahan wilayah secara sukarela sebagai tindakan yang tidak sah (illegitimate), terutama karena Rusia adalah pihak agresor. Namun, pihak Gedung Putih menolak anggapan bahwa proposal ini berat sebelah, mengklaim bahwa mereka telah melibatkan kedua belah pihak secara setara untuk mencapai perdamaian yang "adil dan abadi".
Meskipun dihadapkan pada poin-poin yang sulit, Zelenskyy tetap berhati-hati dalam respons publiknya. Ia tidak secara eksplisit menolak rencana tersebut, namun menekankan bahwa Ukraina membutuhkan perdamaian yang menghormati kedaulatan dan martabat rakyatnya. Ia dijadwalkan akan berbicara dengan Presiden AS Donald Trump dalam beberapa hari ke depan. Sementara itu, Kaja Kallas, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, mengkritik absennya keterlibatan Eropa dalam penyusunan rencana ini, menegaskan bahwa agar rencana apa pun berhasil, harus ada dukungan penuh dari Ukraina dan Eropa.
Analisis Tambahan: Dilema "Land for Peace" dan Pergeseran Geopolitik
Situasi ini menempatkan Ukraina dalam posisi yang sangat dilematis. Konsep "land for peace" (menukar wilayah demi perdamaian) yang tersirat dalam proposal ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam sejarah resolusi konflik, namun penerapannya di Ukraina memiliki risiko preseden yang berbahaya. Jika Ukraina dipaksa menyerahkan Donbas secara legal, hal ini seolah melegitimasi agresi militer sebagai cara yang sah untuk mengubah perbatasan negara berdaulat di abad ke-21. Ini bisa mengirimkan sinyal ke seluruh dunia bahwa tatanan hukum internasional pasca-Perang Dunia II mulai runtuh, digantikan oleh hukum rimba di mana negara kuat bebas mencaplok wilayah negara tetangganya.
Lebih jauh lagi, proposal untuk mengembalikan Rusia ke dalam G7/G8 dan mencabut sanksi ekonomi tanpa adanya perubahan rezim atau pertanggungjawaban penuh atas kerusakan perang menunjukkan adanya pergeseran prioritas di Washington di bawah kepemimpinan Trump. Fokus tampaknya beralih dari menghukum agresor menjadi stabilitas ekonomi global dan pengurangan beban finansial AS dalam konflik luar negeri. Bagi Ukraina dan sekutu Eropanya, ini adalah alarm bahaya bahwa dukungan tanpa syarat dari AS mungkin telah berakhir, dan mereka harus bersiap menghadapi realitas baru di mana keamanan Eropa tidak lagi dijamin sepenuhnya oleh payung Amerika.
Selain aspek militer dan wilayah, proposal ini juga menyentuh aspek ekonomi yang krusial. Reintegrasi Rusia ke ekonomi global mungkin disambut baik oleh pasar energi dan komoditas dunia yang terganggu, namun bagi Ukraina, ini berarti kehilangan salah satu leverage terbesarnya: isolasi ekonomi terhadap Moskow. Tanpa sanksi, Rusia dapat dengan cepat memulihkan kekuatan ekonominya untuk membangun kembali militernya, yang pada akhirnya kembali menjadi ancaman bagi Ukraina yang telah dilucuti sebagian kekuatan militernya sesuai proposal tersebut. Oleh karena itu, jaminan keamanan yang ditawarkan haruslah sangat konkret—mungkin melibatkan boots on the ground dari negara-negara Eropa—agar Ukraina bersedia mempertimbangkan kesepakatan yang berisiko tinggi ini.
