Akhir Sidang di Makassar: 4 Terdakwa Kasus "Surat Makar" Divonis Lebih Ringan dari Tuntutan
Kasus empat aktivis politik yang berafiliasi dengan Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB), yakni Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Nikson May, dan Piter Robaha, telah mencapai babak baru dengan vonis tujuh bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar. Vonis ini diputuskan setelah mereka dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana makar berdasarkan Pasal 106 jo. Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Meskipun dijatuhi hukuman, vonis ini sedikit lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang meminta delapan bulan penjara, dengan pertimbangan bahwa para terdakwa bersikap kooperatif, memiliki tanggungan keluarga, dan belum pernah dipidana sebelumnya.
Inti dari permasalahan ini bermula ketika keempat individu tersebut mengirimkan surat berkop NFRPB kepada Gubernur Papua Barat Daya pada 14 April 2025. Surat tersebut berisi permintaan agar Gubernur memfasilitasi peace negotiation antara Presiden Prabowo dan Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut. Alih-alih ditanggapi sebagai upaya dialog, tindakan ini justru dianggap sebagai treason atau makar oleh aparat penegak hukum, dengan tuduhan adanya niat memisahkan sebagian wilayah NKRI dan pembentukan struktur negara tandingan.
Proses hukum ini menuai sorotan tajam karena dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap ekspresi politik damai. Kuasa hukum terdakwa, Yan Christian Warinussy, menegaskan bahwa kliennya hanyalah "pengantar surat" atau layaknya "tukang pos", bukan perencana pemberontakan bersenjata. Pemindahan lokasi sidang dari Sorong ke Makassar dengan alasan keamanan juga memicu kontroversi dan protes keras yang berujung pada civil unrest di Sorong. Para aktivis HAM dan kelompok sipil menilai langkah ini "cacat prosedur" dan merupakan bentuk politisasi hukum yang berlebihan (over-reactive) dari pemerintah pusat.
Kritik mendasar dari para pengamat dan lembaga seperti YLBHI dan BRIN menyoroti kecenderungan aparat menggunakan pasal makar untuk memberangus ekspresi identitas dan perbedaan pendapat di Papua. Peneliti BRIN, Cahyo Pamungkas, menyebut adanya standar ganda dalam penanganan kebebasan berekspresi, di mana simbol-simbol budaya seperti Bintang Kejora kerap langsung distigmatisasi sebagai separatisme. Pendekatan represif semacam ini dikhawatirkan justru akan semakin menyuburkan nasionalisme Papua dan menggerus kepercayaan masyarakat setempat terhadap pemerintah Indonesia, alih-alih menyelesaikan konflik secara bermartabat.
Kasus ini menjadi cerminan kompleksitas penyelesaian masalah Papua, di mana pendekatan keamanan (security approach) masih mendominasi dibandingkan dialog damai yang diamanatkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus. Para simpatisan dan aktivis pro-demokrasi terus menuntut pembebasan tanpa syarat, menegaskan bahwa tindakan mengantar surat ajakan berunding seharusnya tidak dikategorikan sebagai kejahatan terhadap negara. Situasi ini mempertegas perlunya evaluasi mendalam terhadap penerapan pasal makar agar tidak menjadi alat pembungkam aspirasi damai.
